Selasa, 22 Mei 2012

Pembangunan Politik era Reformasi


 Indonesia merupakan bangsa yang telah merdeka selama 65 tahun dan mau menuju ke 66 tahun pada tahun ini. Dalam perjalanan, Indonesia mengalami macam perubahan metode dalam sistem pemerintahan. Dimulai dari RIS ( Republik Indonesia Serikat ), Sistem Parlementer hingga Sistem Demokrasi Terpimpin. Perubahan sistem pemerintahan tersebut telah dianggap menjadi sebuah kewajaran,
di karenakan Indonesia pada saat itu masih baru merdeka sehingga masih mencari sistem pemerintahan yang baik untuk digunakan. Lalu pada masa orde baru, pembangunan politik lebih mengarah kepada pelanggengan kekuasaan dari pihak penguasa saat itu. Hal tersebut ditandai dengan adanya fusi partai yang diterapkan pada Pemilu pada tahun 1977. Artinya Soeharto pada saat itu menjabat sebagai Presiden dapat mengurangi ancaman dan tekanan dari pihak partai lain selain partai Golkar yang menghalanginya untuk dapat menjadi Presiden. Buktinya adalah Alm. Soeharto yang dapat menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun.
Ketika krisis moneter yang dirasakan ngera kita yaitu Indonesia sejak tahun 1993, munculah sebuah wacana tentang suksesi yang dilontarkan oleh Amien Rais untuk menggulingkan rezim Soeharto. Puncaknya adalah pada Mei 1998, yaitu adanya tuntutan untuk reformasi dan turunnya Alm.Soeharto dari kursi kepemimpinan beserta kroninya yang dianggap telah membuat Indonesia mencapai puncak krisis yang paling parah. Sampai pada akhirnya Alm.Soeharto mengundurkan diri yang dikarenakan oleh desakan dari parlemen dan mundurnya beberapa menteri dari kabinet waktu itu.
Setelah turunnya Alm.Soeharto, kembali tumbuh masalah baru. Presiden yang berikutnya yaitu B.J Habibie mengumumkan untuk membuka kran demokrasi selebar-lebarnya yang artinya masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Setelah adanya pembukaan kran demokrasi yang luas seperti itu, masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh Alm.Soeharto pada masa orde baru silam. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ). B.J Habibie selaku kepala Negara, saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste dan akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi pandangan dan pola pikir masyarakat Indonesia tentang arti demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Kejadian lepasnya Timor Leste dari NKRI menunjukkan bahwa rapuhnya sistem demokrasi yang dibangun oleh Indonesia pada saat itu. Pembangunan nilai demokrasi yang seharusnya diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi yang sebenarnya tidak menggunakannya dengan baik dan benar. Sampai pada akhirnya perganti Presiden hingga saat ini.
Kebebasan berdemokrasi dan politik membuat bangsa Indonesia terjebak dalam sebuah sistem “Demokrasi Kebablasan” yang artinya masyarakat Indonesia saat ini menjalankan demokrasi yang tidak dibatasi dalam peraturan dan perundang-undangan. Meskipun ada beberapa undang-undang yang mengatur itu, banyaknya penyimpangan yang mengatasnamakan demokrasi seolah mengalahkan undang-undang yang dibuat. Demokrasi yang terlalu bebas juga dapat menjadikan masalah baru bagi masyarakat yang taraf hidupnya rendah. Kebebasan berdemokrasi justru membuat rakyat miskin semakin kekurangan karena tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam berdemokrasi selayaknya masyarakat kalangan atas. Adanya kesenjangan sosial yang cukup jauh ini, menyebabkan timbulnya beberapa macam akibat seperti vandalisme, keberpihakan negara terhadap elit sampai yang terparah adalah pemotongan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin.
Timbulnya vandalisme dalam berdemokrasi bukan lain adalah dikarenakan ketidakmerataan pembangunan pemerintah yang berdampak pada kondisi psikologis bagi masyarakat dan menimbulkan beberapa dampak iri terhadap masyarakat yang merasakan pembangunan. Begitu juga dengan keberpihakan negara pada kaum elit yang seakan menekan rakyat miskin guna unutk memenuhi kepentingan elit semata seperti kasus penggusuran yang diperuntukkan membangun perumahan dan gedung – gedung tinggi yang dikuasai oleh para elit. Kebijakan subsidi juga menjadi sebuah masalah baru. Adanya pemotongan dana subsidi dari pemerintah daerah juga merupakan contoh buruk demokrasi yang dikembangkan Indonesia saat ini. Ketika ini sudah terjadi dan banyak diekspos oleh media, pemerintah hanya diam seribu bahasa. Tidak ada penindakan tegas dan langkah konkrit dari pemerintah untuk menangani hal ini.
Akhirnya kesimpulan dari penulis adalah “demokrasi yang pada awalnya mempunyai konsep yang bagus dan dapat dilaksanakan di Indonesia dengan baik mempunyai banyak penyimpangan yang tidak perlu. Kurangnya pemahaman dari elit politik tentang demokrasi juga patut menjadi pekerjaan bersama, artinya para elit politik dalam pemerintahan dapat mengetahui arti dari demokrasi yang sebenarnya sehingga mereka dapat memberikan contoh kepada masyarakat luas tentang demokrasi yang seharusnya dijalankan oleh Indonesia. Pembangunan yang dilakukan juga haruslah merata agar dapat meminimalisir akibat yang nantinya akan ditimbulkan.”

Referensi: http://amriyonoprakoso.wordpress.com/2010/06/12/pembangunan-politik-era-reformasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar